Jumat, 26 Juni 2009

Al-Razi

A. Biografi Al-Razi
 Nama lain Al-Razi adalah Abu Bakar Muhammad Ibn Zakaria Ibn Yahya Al Razi. Dalam wacana keilmuan Barat dikenal dengan sebutan Rhazes. Ia dilahirkan di Rayy, sebuah kota tua yang masa lalu bernama Rhogee, dekat Teheran, Republik Islam Iran pada tanggal 1 Sya'ban 251H/ 865M.
 Ada beberapa nama tokoh lain yang juga dipanggilkan Al-Razi, yakni Abu Hatim Al-Razi, Fakhruddin Al-Razi dan Najmuddin Al-Razi. Oleh karena itu, untuk membedakan Al-Razi, sang filosof ini dari tokoh-tokoh lain, perlu ditambahkan dengan sebutan Abu Bakar, yang merupakan nama kun-yah-nya (gelarnya).
 Pada masa mudanya, ia menjadi tukang intan, penukar uang dan pemain musik (kecapi). Kemudian, ia menaruh perhatian yang besar terhadap ilmu kimia dan meninggalkannya setelah matanya terserang penyakit akibat eksperimen-eksperimen yang dilakukannya. Setelah itu, ia beralih dan mendalami ilmu kedokteran dan filsafat..
Al-Razi terkenal sebagai seorang dokter yang dermawan, penyayang kepada pasien-pasiennya, karena itu sering memberikan pengobatan cuma-cuma kepada orang-orang miskin.
Karena reputasinya di bidang kedokteran ini, Al-Razi pernah diangkat menjadi kepala rumah sakit Rayy pada masa pemerintahan Gubernur Al Mansyur Ibnu Ishaq ibn Ahmad selama enam tahun (290-296 H / 902-908 M). pada masa ini juga Al-Razi menulis bukun al-Thibb al- Mansyuri yang dipersembahkan kepada Mansyur Ibnu Ishaq ibn Ahmad.dari Rayy kemudian Al-Razi ke Baghdad dan atas permintaan Khalifah Al-Muktafi (289-295 H / 901-908 M), yang berkuasa pada saat itu, ia memimpin rumah sakit di Baghdad. Kemasyhuha Al-Razi sebagai seorang dokter tidak saia di Dunia Timur tapi juga di Barat, ia kadang-kadang dijuluki The Arabic Galen. Setelah khalifah Al-Muktafi wafat, Al-Razi kembali ke Rayy, dan kemudian ia berpindah-pindah dari satu negeri ke negeri yang lain. Meninggal dunia pada tanggal 5 Sya'ban 313 H/ 27 Oktober 925 M dalam usia 60 tahun.
Disiplin ilmu Al-Razi meliputi ilmu falak, matematika, kimia, kedokteran, dan filsafat. Ia lebih dikenal sebagai ahli kimia dan ahli kedokter dibanding sebagai seorang filosof.

B. Karya-Karya Al-Razi
Al-Razi termasuk seorang filosof yang rajin belajar dan menulis. Bahkan ia telah menulis tidak kurang 200 karya tulis dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan, tetapi banyak karya tersebut yang hilang. Karya-karya Al-Razi yang dimaksud adalah :
a. Kitab Al-Asrar (bidang kimia, diterjemahkan ke dalam bahasa Latin oleh Geard of Cremon);
b Al-Hawi (merupakan ensiklopedia kedokteran sampai abad ke-XVI diEropa, setelah diterjemahkan ke dalam bahasa Latin tahun 1279 dengan judul Continens;
c. Al-Mansuri Liber al-Mansoris (bidang kedokteran, 10 jilid);
d. Kitab al-Judar wa al-Hasbah (tentang analisa penyakit cacar dan canpak serta pencegahannya), sedangkan dalam bidang filsafat
e. Al-Thibb al-Ruhani;
f. Al-Sirah al-Falsafiyyah;
g. Amarah al-Iqbal al-Dawlah;
h. Kitab al-Ladzdzah;
i. Kitab al-'Ilm al-Illahi;
j. Makalah fi ma ba'dengan al-Thabi'iyyah; dan
k. Al-Shukuk 'ala Proclus.

C. Filsafat Al-Razi
1. Logika
Al-Razi adalah termasuk seorang rasionalis murni. Ia hanya mempercayai terhadap kekuatan akal. Didalam kedokteran studi klinis yang yang dilakukannya telah menemukan metoda yang kuat, dengan berpijak kepada observasi dan eksperimen. Sebagaimana yang terdapat pada kitab al faraj ba’d al Syaiddah, karya Al-Tanukhi (wafat 384 H). 
Dalam Operasi Philosophia volume 1, hal. 17 sampai 18 juga menunjukkan metoda tersebut. Bahkan pemujaan Al-Razi terhadap akal tampak sangat jelas pada halaman pertamadari bukunya al-Thibb. Ia mengatakan: Tuhan segala puji bagi-Nya, yang telah memberi kita akal agar dengannya kita dapat memperoleh sebanyak-banyaknya manfaat, inilah karunia terbaik Tuhan kepada kita. Dengan akal kita dapat melihat segala yang berguna bagi kita dan yang membuat hidup kita baik dengan akal, kita dapat mengetahui yang gelap, yang jauh dan yang tersembunyi dari kita, dengan alat itu pula kita dapat memperoleh pengetahuan tentang Tuhan, suatu pengetahuan tertinggi yang dapat kita peroleh, jika akal sedemikian mulia dan penting, maka kita tidak boleh merelehkannya, kita tidak boleh menentukannya, sebab ia adalah penentu atau tidak boleh mengendalikan, sebab ia adalah pengendali atau memerintah, sebab ia pemerintah tetapi kita harus kembali kepadanya dalam segala hal dan menentukan segala masalah dengannya, kita harus susuai perintahnya.
Demikian di antara pernyataan Al-Razi yang telah di nilai telah menyimpang dari agama. Tuduhan ini jelas akan membawa rusaknya reputasi Al-Razi. Bahkan Harun Nasution mengatakan bahwa Al-Razi adalah filosof Muslim yang berani mengeluarkan pendapat-pendapatnya sungguhpun ia bertentangan dengan paham yang di anut oleh umat Islam. Selanjutnya, Harun nasution menyimpulkan dari gagasan-gagasan Al-Razi tersebut, yakni a. tidak percaya pada wahyu, b. Al-Quran bukan mukjizat, c. Adanya hal-hal yang kekal selain Allah.
2. Metafisika
 Filsafat Ar Razi dikenal dengan ajaran "Lima Kekal", yakni:
1. Allah Ta'ala;
2. Jiwa Universal;
3. Materi Pertama;
4. Ruang Absolut;
5. Masa Absolut.
Menurut Al-Razi, dua dari lima yang kekal itu hidup dan aktif, yaitu Tuhan dan Jiwa/Roh Universal. Satu daripadanya tidak hidup dan pasif, yaitu materi. Dua lainnya tidak hidup, tidak aktif dan tidak pula pasif, yakni ruang dan masa.
  Menurut Al-Razi alam semesta tidak qadim, baharu, meskipun materi asalnya qadim, sebab penciptaan disini dalam arti disusun dari bahan yang telah ada. Penciptaan dari tiada, bagi Al-Razi tidak dapat dipertahankan secara logis. Pasalnya, dari satu sisi bahan alam yang tersusun dari tanah, udara, air, api, dan benda-benda langit berasal dari materi pertama yang telah ada sejak azali. Pada sisi lain, jika Allah menciptakan alam dari tiada, tentu Ia terikat pada penciptanya segala sesuatu dari tiada karena hal ini merupaka modus perbuatan yang paling sederhana dan cepat. Namun kenyataannya penciptaan seperti itu suatu hal yang tidak mungkin.
  Jiwa universal merupakan al-Mabda' al-qadim al-sany (sumber kekal yang kedua). Padanya terdapat daya hidup dan bergerak, -sulit diketahui karena dia tanpa rupa- tetapi karena ia dikuasai naluri untuk bersatu dengan al-hayula al-ula (materi pertama), terjadilah pada dzatnya rupa yang dapat menerima fisik. Sementara itu, materi pertama tanpa fisik, Allah datang menolong roh dengan menciptakan alam semesta termasuk tubuh manusia yang ditempati roh.
  Begitu pula Allah menciptakan akal. Ia merupakan limpahan dari Allah. Tujuan penciptaannya untuk menyadarkan jiwa yang terlena dalam fisik manusia, bahwa tubuh itu bukanlah tempat yang sebenarnya, bukan tempat kebahagiaan dan tempat abadi. Kesenangan dan kebahagiaan yang sebenarnya adalah melepaskan diri dari materi dengan jalan filsafat.
  Materi pertama adalah kekal (jauhar qadim). Ia disebut juga hayula muthlaq (materi mutlak), yang tidak lain adalah atom-atom yang tidak bisa dibagi lagi. Pendapat Al-Razi seperti ini mengesankan mirip dengan demokritos, namun pendapatnya jelas berbeda. 
  Atom-atom yang tidak terbagi itu, menurut Al-Razi, mempunyai volume ('azhm). Oleh karena itu, ia dapat dibentuk. Dengan penyusunan atom-atom tersebut terbentuklah alam dunia. Partikel-partikel materi alam menentukan kualitas-kualitas primer dari materi tersebut. Partikel yang lebih padat menjadi unsur tanah, partikel yang lebih renggang dari pada unsur tanah menjadi unsur air, partikel yang lebih renggang lagi menjadi unsur udara, dan yang jauh lebih renggang menjadi unsur api.
  Untuk memperkuat pendapatnya tentang kekekalan materi pertama, Al-Razi memajukan dua argumen. Pertama, adanya penciptaan mengharuskan adanya Pencipta. Materi yang diciptakan oleh Pencipta yang kekal tentu kekal pula. Kedua, ketidak mungkinan penciptaan dari creatio ex nihilo. Seperti telah dikemukakan sebelumnya, bahwa alam diciptakan Allah dari bahan yang sudah ada, yakni materi pertama yang telah ada sejak azali.
  Telah disebutkan bahwa materi bersifat kekal karena ia menempati ruang, maka ruang juga kekal. Oleh sebab itu, ruang, menurut Ar-Razi, dapat dibedakan menjadi dua macam : ruang partikular (al-makan al-juz'i) dan ruang universal (al-makan al-kully). Ruang yang pertama terbatas dan terikat dengan suatu wujud yang menempatinya. Ruang tersebut tidak akan ada tanpa adanya maujud sehingga dia tidak bisa dipahami secara terpisah dengan maujud. Ruang partikular ini akan terbatas dengan terbatasnya maujud, berubah dan lenyap sesuai dengan keadaan maujud yang ada di dalamnya. Sementara yang kedua tidak terikat dengan maujud dan tidak terbatas. Sebagai bukti ketidak terbatasan ruang, Ar-Razi mengatakan bahwa wujud (tubuh) memerlukan ruang dan ia tidak mungkin ada tanpa adanya ruang, tetapi ruang bisa ada tanpa adanya wujud tresebut. Ruang universal ini sering juga disebut al-khala (kosong) dan ruang inilah yang dikatakan Ar-Razi ruang yang kekal.
  Sebagaimana ruang, Ar-Razi membagi waktu kepada dua bagian yaitu waktu mutlak (al-dahr) dan waktu relatof (Al-mahsur atau al-waqt). Al-dahr adalah zaman yang tidak mempunyai awal dan akhir serta bersifat universal, terlepas sama sekali dari ikatan alam semesta, dan gerakan falak. Kekekalan zaman ini merupakan konsekuensi dari kekekalan materi. Karena materi mengalami perubahan, dan perubahan menandakan zaman, maka kalau materi kekal, zaman mesti kekal pula. Al-mahsur atau al-waqt adalah bersifat partikular dan bersifat tidak kekal, serta terbatas karena ia terikat dengan gerakan falak, terbit dan tenggelamnya matahari.
  3. Moral
Berkaitan dengan jiwa, Al-Razi mengharuskan seorang dokter untuk mengetahui kedokteran jiwa (al-Thibb al-Ruhani) dan kedokteran tubuh (al-Thibb al-Jasmani) secara bersama-sama, karena manusia memerlukan hal itu secara bersama-sama pula. Karena itu, faktor jiwa menjadi salah satu dasar pengobatan bagi Ar-Razi. Menurutnya terdapat hubungan yang erat antara tubuh dan jiwa. Misalnya, emosi jiwa tidak akan terjadi, kecuali dengan melalui persepsi indrawi. Emosi jiwa yang berlebihan akan mempenganruhi keseimbangan tubuh, sehingga timbul keragu-raguan dan melankolik.

 4. Kenabian
Meskipun Ar-Razi seorang rasionalis murni ia tetap bertuhan hanya ia tidak mengakui adanya wahyu dan kenabian. Badawi menerangkan alasan-alasan Al-Razi dalam menolak kenabian sebagai berikut : 
1. Bahwa akal sudah memadai untuk membedakan antara yang baik dan yang buruk, yang benar dan yang jahat, yang berguna dan yang tak berguna. Melalui akal manusia dapat mengetahui Tuhan dan mengatur kehidupan kita sebaik-baiknya. Kemudian mengapa masih dibutuhkan nabi? 
2. Tidak ada keistimewaan bagi beberapa orang untuk membimbing semua orang, sebab semua orang lahir dengan kecerdasan yang sama perbedaannya bukanlah karena pembawaan alamiah, tetapi karena pengembangan dan pendidikan (eksperimen).
3. Para nabi saling bertentangan. Apabila mereka berbicara atas nama satu Tuhan mengapa implementasi mereka terhadap pertentangan? Setelah menolak kenabian kemudian Ar-Razi mengkritik agama secara umum. Ia menjelaskan kontradiksi-kontradiksi kaum Yahudi kristen ataupun Majusi. Pengikatan manusia terhadap agama adalah karena meniru dan kebiasaan, kekuasan ulama yang mengabdi negara dan manivestasi lahiriah agama, upacara-upacara, dan peribadatan yang mempengaruhi mereka yang sederhana dan naif.
Kemudian Al-Razi juga mengkritik agama secara umum. Ia juga menjelaskan kontradiksi Yahudi, Kristen, Mani, dan Majuzi secara rinci. Bahkan lebih lanjut ia katakan tidaklah masuk akal Allah mengutus para nabi sebab mereka menimbulkan kemudaratan. Ia juga mengkritik secara sistematik kitab-kitab wahyu Al-Quran dan injil. Ia menolak kemukjizatan Al-Quran, baik gayanya maupun isinya dan menegaskan bahwa adalah mungkin menulis kitab yang lebih baik dalam gaya yang lebih baik. Ia lebih suka membaca buku–buku ilmiah daripada Al-Quran. Atas dasar itulah, Badawi mengatakan bahwa Al-Razi sangat berani, tidak seorang pemikir Muslim pun seberani dia.

Kamis, 25 Juni 2009

Imam al-Qurthubi dan Metode Penafsirannya

1. Riwayat Hidup Imam Al-Qurthubi
Imam Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad bin Abi Bakar bin Farh Al-Anshari Al-Khazraji Al-Andalusi Al-Qurthubi adalah seseorang mufassir yang dilahirkan di Cordova, Andalusia (sekarang Spanyol). Disanalah beliau mempelajari Bahasa Arab, Syair, Al-Qur’an Al-Karim, Fiqh, Nahwu, Qira’at, Balaghah, Ulumul Qur’an dan ilmu-ilmu lainnya. Beliau merupakan salah seorang hamba Allah yang shalih yang sudah mencapai tingkatan ma’rifatullah, beliau sangat zuhud terhadap kehidupan dunia bahkan dirinya selalu disibukkan oleh urusan-urusan akhirat. Usianya dihabiskan untuk beribadah kepada Allah dan menyusun kitab.
Mengenai sosok Imam Al-Qurthubi, Syaikh Adz-Dzahabi menjelaskan “dia adalah seorang imam yang memiliki ilmu yang luas dan mendalam. Dia memiliki sejumlah karya yang sangat bermanfaat dan menunjukkan betapa luas pengetahuannya dan sempurna kepandaiannya”. Beliau meninggal dunia di Mesir pada malam senin, tepatnya pada tanggal 9 Syawal tahun 671 H. Makamnya berada di El Meniya, di timur sungai Nil dan sering diziarahi oleh banyak orang.
Diantara guru-guru Imam Al-Qurthubi adalah :
- Ibnu Rawwaj, Imam Al-Muhaddits Abu Muhammad Abdul Wahab bin Rawwaj. Nama aslinya Zhafir bin Ali bin Futuh Al Azdi Al Iskandarani Al-Maliki, wafatnya tahun 648 H.
- Ibnu Al-Jumaizi, Al-Allamah Baha’uddin Abu Al-Hasan Ali bin Hibatullah bin Salamah Al Mashri Asy-Syafi’I, wafat pada tahun 649 H. Ahli dalam bidang Hadits, Fiqih dan Ilmu Qira’at.
- Abu Al-Abbas Ahmad bin Umar bin Ibrahim Al-Maliki Al-Qurthubi, wafat pada tahun 656 H. Penulis kitab Al-Mufhim fisyarh Shahih Muslim.
- Al-Hasan Al-Bakari, Al-Hasan bin Muhammad bin Muhammad bin Amaruk At-Taimi An-Nisaburi Ad-Dimsyaqi atau Abu Ali Shadruddin Al-Bakari, wafat pada tahun 656 H.
Karya-karya Al-Qurthubi selain kitabnya yang berjudul Al-Jami’li Ahkaam Al-Qur’an, diantaranya adalah: At_Tadzkirah fi Ahwal Al-Mauta wa Umur Al-Akhirah, At-Tidzkar fi Afdhal Al-Adzkar, Al-Asnafi Syarh Asma’illah Al-Husna, Syarh At-Taqashshi, Al-I’llambi maa fi din An-Nashara min Al-Mafashid wa Al-Auham wa Izhhar Mahasin din Al-Islam, Qam’u Al-Harsh bin A-Zuhd wa Al-Qana’ah, Risalah fi Alqam Al-Hadits, Kitab Al-Aqdhiyyah, Al-Mishbah fi Al-Jam’I baina Al-Af’aal wa Ash-Shahhah, Al-Muqtabar fi Syarh Muwaththa’ Malik bin Anas, Al-Luma’ fi Syarh Al-Isyrinat An-Nabawiyah. 
2. Menilai Metode Tafsir Al-Qurthubi
Secara umum pendekatan tafsir yang digunakan Imam al-Qurthubi ialah menggunakan pendekatan Tafsir Tahliliy, yakni suatu pendekatan tafsir dengan melakukan penafsiran sesuai dengan urutan mushaf Utsmaniy. Selanjutnya, untuk mengetahui metode analisis yang digunakan Imam al-Qurthubi mari kita lihat sampel metode penafsiran beliau dalam kasus QS. Al-Hasyr (18):23 berikut: 
هُوَ اللَّهُ الَّذِي لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ الْمَلِكُ الْقُدُّوسُ السَّلَامُ الْمُؤْمِنُ الْمُهَيْمِنُ الْعَزِيزُ الْجَبَّارُ الْمُتَكَبِّرُ سُبْحَانَ اللَّهِ عَمَّا يُشْرِكُونَ (23)
قوله تعالى: هو الله الذى لا إله إلا هو الملك القدس السلم المؤمن المهيمن العزيز الجبار المتكبر سبحن الله عما يشركون 23 قوله تعالى: (هو الله الذى لا إله إلا هو الملك القدوس) أي المنزه عن كل نقص، والطاهر عن كل عيب.
والقدس (بالتحريك): السطل بلغة أهل الحجاز، لانه يتطهر به.
ومنه القادوس لواحد الاواني التي يستخرج بها الماء من البئر بالسانية (2).
وكان سيبويه يقول: قدوس وسبوح، بفتح أولهما.
وحكى أبو حاتم عن يعقوب أنه سمع عند الكسائي أعرابيا فصيحا يكني أبا الدينار يقرأ " القدوس " بفتح القاف.
قال ثعلب: كل اسم على فعول فهو مفتوح الاول، مثل سفود (1) وكلوب وتنور وسمور وشبوط، إلا السبوح والقدوس فإن الضم فيهما أكثر، وقد يفتحان.
وكذلك الذروح (2) (بالضم) وقد يفتح.
(السلام) أي ذو السلامة من النقائص.
Dapat dipahami dari penjelasan diatas bahwa al-Qurthuby menggunakan analisis lughawy (kebahasaan). Hal ini diketahui, karena dia menafsirkan ayat di atas dengan mengutip pendapat-pendapat para sahabat dan ulama-ulama tentang arti kata dalam ayat. Demikian itu dia lakukan untuk memperjelas maksud dari setiap kata dalam ayat. Sebagaimana:
وكان سيبويه يقول: قدوس وسبوح، بفتح أولهم.. dia mengutip pendapat imam sibawaih tentang bacaan “القدوس” sehingga dengan ini dia bisa menjelaskan arti sebenarnya kata tersebut.
وقال ابن العربي: اتفق العلماء رحمة الله عليهم على أن معنى قولنا في الله " السلام ": النسبة، تقديره ذو السلامة.
ثم اختلفوا في ترجمة النسبة على ثلاثة أقوال: الاول: معناه الذي سلم من كل عيب وبرئ من كل نقصى.
الثاني: معناه ذو السلام، أي المسلم على عباده في الجنة، كما قال: " سلام قولا من رب رحيم " [ يس: 58 ].
الثالث: أن معناه الذي سلم الخلق من ظلمه.
قلت: وهذا قول الخطابي، وعليه والذي قبله يكون صفة فعل.
وعلى أنه البرئ من العيوب والنقائص يكون صفة ذات.
وقيل: السلام معناه المسلم لعباده المؤمن) أي المصدق لرسله بإظهار معجزاته عليهم ومصدق المؤمنين ما وعدهم به من الثواب ومصدق الكافرين ما أوعدهم من العقاب.
Disamping menggunakan analisis Lughawy, beliau dalam mempertajam penelitiannya juga menggunakan analisis bi al-Ma’tsur, yakni suatu metode analisis ayat-ayat al-Qur’an dengan menggunakan ayat lain, hadits atau pendapat para sahabat. Hal ini tampak ketika beliau menafsirkan kata “ السلام” dengan menggunakan ayat lain dalam surat yasin, yaitu:
سلام قولا من رب رحيم dan beliau mengutip pendapat sahabat atau ulama-ulama untuk memperkuat penafsirannya. Hal ini diketahui dari paparannya yaitu: 
كما قال: " سلام قولا من رب رحيم " [ يس: 58 ].
الثالث: أن معناه الذي سلم الخلق من ظلمه.
قلت: وهذا قول الخطابي، وعليه والذي قبله يكون صفة فعل.
وعلى أنه البرئ من العيوب والنقائص يكون صفة ذات.
وقيل: السلام معناه المسلم لعباده المؤمن) أي المصدق لرسله بإظهار معجزاته عليهم ومصدق المؤمنين ما وعدهم به من الثواب ومصدق الكافرين ما أوعدهم من العقاب
Dari persoalan-persoalan yang telah diuraikan bahwa metode al-Qurthubi dalam menafsirkan ayat al-Qur’an dengan menggunakan Tafsir Tahlily karena beliau berupaya menjelaskan seluruh aspek yang terkandung dalam al-Qur’an dan mengungkapkan segenap pengertian yang dituju dan juga dipertajam melalui analisis bi al-ma’tsur dan diperkuat dengan analisis lughawy (kebahasaan).
Langkah-langkah yang dilakukan oleh al-Qurthubi dalam menafsirkan al-Qur’an dapat dijelaskan dengan perincian sebagai berikut:  
a. Memberikan kupasan dari segi bahasa.
b. Menyebutkan ayat-ayat lain yang berkaitan dan hadits-hadits dengan menyebut sumbernya sebagai dalil.
c. Mengutip pendapat ulama dengan menyebut sumbernya sebagai alat untuk menjelaskan hokum-hukum yang berkaitan dengan pokok bahasan.
d. Menolak pendapat yang dianggap tidak sesuai dengan ajaran Islam.
e. Mendiskusikan pendapat ulama dengan argumentasi masing-masing, setelah itu melakukan tarjih dan mengambil pendapat yang dianggap paling benar